Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Rasa yang Pernah Ada
Manusia diciptakan berbeda-beda ras dan suku bangsa agar mereka saling mengenal, bukan menindas. Manusia juga memiliki sifat dan watak yang berbeda agar saling memahami bukan mengintimidasi. Banyaknya perbedaan tersebut membuat dunia ini semakin berwarna. Alih-alih perdamaian, permusuhan lebih sering terjadi karena keberagaman ini. Dari orang-orang kulit putih yang sok suci, orang-orang tamak yang paling susah jinak, sampai perdebatan soal makan bubur yang lebih enak diaduk atau enggak.
Ngomongin cara makan bubur yang diperdebatkan, aku dan saudaraku bisa dibilang punya selera yang sama, sama-sama diaduk. Selain selera makan bubur, kami juga suka pedas, pecinta micin dan makanan gurih lainnya. Bedanya dia biasanya 'lebih gigih' untuk mendapatkannya ketimbang aku yang milih untuk 'apa adanya'.
Tidak perlu jauh-jauh, kalau membuat mie instan saja, semua bumbu penyedap yang ada di rumah dimasukin satu-satu ke mangkuk mienya, b*n cabe dan irisan cabai rawit juga enggak ketinggalan. Telur rebusnya juga harus pas dan kuahnya enggak boleh kurang. Sementara aku, ya, cuman pakai bumbu yang sudah disediain dari sananya dan sisa irisan cabai rawit yang kadang enggak diabisin sama dia. Belum lagi kalau aku yang harus masakin indomienya. Nyerah duluan sebelum dia sempat menjelaskan harus ada apa aja di dalam mangkuk mienya.
Apalagi, akhir-akhir ini aku sering mencoba masak sendiri untuk menekan anggaran karena suka beli makanan jadi. Karena cuman coba-coba, rasanya pun rada-rada. Dan karena rasanya yang enggak bisa disebut mencapai standar rata-rata (menurut adikku itu) enggak jarang dia marah-marah. Makanannya enggak cocok di lidah dia, kurang asin lah, ngga ada rasanya lah, dan segala macam uneg-uneg ala juri-juri masterchef yang judesnya enggak ada lawan. Padahal menurutku itu sudah cukup asin, asin banget malah. Makanya, enggak jarang kita ribut cuman gara-gara masakannya enggak cocok di lidah masing-masing.
Soal selera yang berbeda tiap orang, aku pribadi belum pernah makan menu yang sama kalau lagi makan di luar bareng orang lain. Kalaupun sama, salah satu dari kita pasti ada yang ngalah atau bingung mau makan apa. Contoh paling sering adalah ketika istirahat. Aku sering banget jajan bareng temen aku yang satu ini. Aku biasanya sering ke kantin buat beli gorengan, bakso, cilok, atau makanan berbumbu lainnya. Sementara temanku belok ke koperasi buat beli wafer, biskuit, atau makanan manis lainnya. Kantin yang sering penuh menjadi alasan lain kenapa dia selalu jajan di koperasi. Pernah juga kami pergi ke kantin bareng tapi ngidam jajanan yang beda. Dia beli jajanan seribuan kalau aku beli jajanan berat seperti seblak. Alhasil, dia harus ikut nungguin biar kami bisa makan bareng.
Kembali ke cerita awal, akhirnya aku tahu perasaan ibuku ketika masakannya yang telah dimasak sepenuh hati ternyata tidak dinikmati. Bukan karena rasanya yang enggak enak, tapi karena menunya yang enggak memikat. Sakit.
Komentar
Postingan Populer
Tujuan Setelah Lulus Sekolah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Be The Happy You
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Wahh memang masakan ibu itu kadang jadi "korban" keegoisan anak2, padahal ibu kita udah masak susah payah hehe.. Semoga kita bisa lebih menghargai makanan yg ada di depan kita ya, terutama buatan ibu :)
BalasHapus