|
shout out to the pexels contributor! |
Postingan ini hanya berisi suka duka yang aku alami ketika harus sendirian di rumah.
Sendirian di rumah bukanlah hal baru bagiku. Pertama kalinya aku ditinggal sendiri di rumah seingatku waktu kelas 1 SD di bulan Ramadan. Saat itu kedua orangtuaku ingin pergi ke Tip Top untuk berbelanja keperluan rumah tangga yang sudah menjadi rutinitas bulanan keluarga kami. Setelah belanja, biasanya kami juga menghabiskan waktu untuk bersenang-senang menikmati wahana sederhana yang berada di pasar swalayan tersebut. Si bocil ini tidak diperbolehkan untuk ikut. Alasannya sederhana, ibuku tidak mau kalau aku sampai batal puasa karena kelelahan berbelanja di swalayan. Sebagai bocah kecil yang sok kuat dan sok tahu tentu aku enggak terima. Aku merengek dan memaksa ibuku agar boleh ikut. Hasilnya tetap nihil. Aku cuman bisa pasrah karena akhirnya ditinggal juga.
Dan kejadian yang masih segar diingatan adalah ketika masih kelas 6 SD. Ibuku harus dirawat inap di rumah sakit. Karena itu, Ayahku jadi jarang pulang. Karena orangtuaku anti izin-izin club, aku tidak diperbolehkan untuk ikut menginap di rumah sakit agar masih bisa masuk sekolah.
Karena terlalu sering ditinggal sendiri, aku jadi menyukainya. Sendirian berarti tidak ada yang mengganggu. Sendirian juga berarti bebas melakukan apapun yang aku mau.
Tapi 'sendirian' kali ini berbeda. Meski tidak merasa takut, aku tetap merasa tidak nyaman.
Malam itu, sekitar pukul 19.30 WIB. Adikku melaksanakan sholat isya berjamaah di masjid dan tidak langsung pulang ke rumah. Ayahku sepertinya terjebak kemacetan di jalan. Sementara ibuku juga sedang tidak berada di rumah. Tak lama kemudian, hujan turun dengan deras. Disusul suara gemuruh petir dan kilatnya yang bersahut-sahutan.
Saat itu aku sedang asyik membaca. Tiba-tiba lampu mati. Listrik padam di tengah-tengah derasnya hujan dan aku yang dibiarkan sendiri. Aku langsung bangkit dan mencari senter. Selain itu aku juga harus mengingat-ingat di mana letak lilin yang ditaruh begitu saja.
Kepanikanku tidak berhenti sampai di situ. Setelah menemukan lilin yang tinggal setengah dari ukuran aslinya, aku tidak bisa lanjut membaca. Aku takut kalau senternya mati mendadak karena aku tidak tahu kapan terakhir kali senter ini diisi daya. Namun tidak memungkinkan juga untuk main handphone. Masalahnya, sekarang hujan deras dan banyak petir. Selain itu baterainya juga sudah mulai menipis.
Tapi karena kegabutanku yang enggak tahu harus ngapain lebih besar dari pada ketakutanku yang takut handphone-nya tiba-tiba mati, aku nekat menggunakannya lagi. Aku iseng membuat status di aplikasi chat untuk meng-update keadaan aku saat ini. Setidaknya aku tidak sendiri, toh? Dan ternyata reaksi mereka semua bermacam-macam. Ada yang prihatin, menyuruhku untuk tidur, dan ada juga malah menakut-nakuti.
Di saat-saat seperti ini biasanya aku paling tidak bisa tidur. Selain karena belum ngantuk, hawa di rumah sangat panas meskipun di luar sedang hujan. Dan kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak takut kalau ada yang menyolekku dari belakang atau menahan kakiku dari bawah. Sebagai orang yang paling tidak bisa menikmati film horor, situasi seperti ini membuatku tidak pernah berpikir tentang hal-hal mistis. Yang kutakutkan saat itu cuman satu, apa yang harus aku lakukan kalau ponselnya benar-benar mati.
Beruntung, salah satu temanku mengajakku ke rumahnya setidaknya sampai salah satu dari anggota keluargaku pulang. Mati lampu kali ini benar-benar lama. Apalagi hujan tidak kunjung reda. Aku tidak tahu harus apa kalau temanku ini tidak mengajakku karena aku benar-benar bosan di tengah kegelapan malam.
Dan tidak ada yang membuatku menulis kelamnya mati lampu itu selain kegabutanku saat ini.
Komentar
Posting Komentar