Tujuan Setelah Lulus Sekolah
Jam pelajaran pertama hari itu sudah dimulai. Sang guru yang biasa kami sapa dengan sebutan ustad sudah tiba di kelas dan langsung menyampaikan materi. Pelajaran hari itu adalah Shorof, cabang dari ilmu bahasa Arab yang cukup penting. Pembelajaran berlangsung tenang dan datar. Namun, tampaknya ada hawa-hawa yang tidak beres.
Atmosfer kelas pagi itu sepertinya tidak sehangat indahnya pagi di luar sana. Sebagian warga kelas mulai suntuk. Apalagi hari ini adalah hari menjelang weekend. Entah apa yang kami lakukan selama seminggu ini hingga membuat hari ini inginnya libur saja. Beberapa ada yang masih memperhatikan sang guru. Sebagian yang lain sibuk dengan pikirannya masing-masing. Namun, tidak sedikit juga yang mulai tumbang.
Menyadari bahwa pelajaran tidak bisa dilanjut, sang guru akhirnya tersenyum dan bertanya tentang hal yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya.
"Kalian belajar untuk bekerja atau cari uang?" Tanya beliau antusias. Membuat kabut-kabut tak kasat mata yang mengudara di langit-langit kelas mengundurkan dirinya.
Aku juga ikut antusias. Ini adalah sesuatu yang kutunggu-tunggu. Beliau adalah guru favoritku. Diajarkan beliau bukan hanya sekedar memahami materi tetapi juga cara memahami hidup ini.
Hening sejenak.
Lagi pula opsinya sama saja.
Seseorang menyahut "cari kerja Tad."
Beliau tersenyum dan bertanya lagi "buat apa kalian belajar cuman buat cari kerja?"
Menohok. Kami saling melempar pandangan bingung satu sama lain.
"Biar dapet ijazah Tad (maksudnya legalitas)," jawab seseorang.
"Ijazahnya buat dikasih ke perusahaannya Tad," tambah yang lain.
"Ijazah itu bukan syarat diterima kerja," kata beliau santai.
"Lha ustad, biasanya juga disuruh buat ngasih ijazah," protes yang lain.
"Iya, tapi ijazah bukan syarat keterima kerja," beliau tetap menyatakan hal itu. Sementara kami tetap keukeuh kalau ijazah adalah syarat untuk lulus seleksi. Lebih tepatnya salah satu syarat dari sekian banyak syarat yang diajukan perusahaan tempat melamar.
Terjadi debat hanya karena ijazah.
"Terus apa tad?" salah seorang dari kami akhirnya mengalah.
"Syaratnya 'LULUS', baru bisa diterima" jawab beliau.
Gubrak.
"Kalau kalian nggak lulus seleksi, kalian nggak akan diterima kan?" Terang beliau. "Paham?"
"Ya biar lulus harus dikasih ijazah!" Seisi kelas sewot. Heboh.
"Belajar buat cari kerja itu, salah!" Beliau menekan kata 'salah'. "Kerja ya tinggal kerja, enggak perlu sekolah. Itu yang salah dari pemikiran orang Indonesia," lanjutnya.
Kelas kembali senyap.
"Makanya, pikiran orang Indonesia enggak pernah maju. Karena pikiran mereka setelah lulus sekolah cuman satu, kerja!" Jelas beliau. "Karena itu, Indonesia dijajah. Kita udah dijajah 300 tahun lho!" Lanjutnya. Beliau kembali mengeluarkan pendapatnya, "dan sekarang, Indonesia lagi dijajah sama China."
"Tapi saya suka dijajah sama orang China," sambungnya.
Kami semua keheranan. "Kenapa ustad?"
"China adalah negara maju, jadi kita bisa ikutan maju," jawabnya.
Kami semua tertawa.
"Orang China, enggak ada yang sekolahnya tinggi-tinggi. Sudah bisa baca, bisa ngitung, mereka langsung kerja di perusahaan bapaknya, terus akhirnya punya perusahaan sendiri," jelasnya.
"Contoh lain, mereka kuliah di IPB, Institut Pertanian Bogor. Lulus dari sana mereka ngga jadi petani," tuturnya. "mereka belajar. Selesai belajar, mereka beli tanah, terus tanahnya dikerjakan orang," sambungnya lagi.
"Terus siapa yang dipekerjakan? Orang Indonesia!" terangnya. "Nah, untuk apa kalian sekolah tinggi-tinggi tapi ujung-ujungnya cuman jadi pembantu?"
Semuanya diam. Mencerna apa yang beliau bicarakan.
"Masih mau cari kerja?" desaknya, lagi.
"Tapi tad." seseorang menyahut. "Kita 'kan juga butuh uang, kita juga pengen kaya,"
"Orang yang kaya adalah orang yang hatinya selalu merasa cukup," tutur beliau. "Artis yang bunuh diri baru-baru ini, apa yang kurang dalam dirinya? Dia kurang cantik? Engga, dia cantik. Uangnya banyak? Jelas, 'kan dia artis. Pasangan? Dia model dan siapa pun bisa menjadi pasangannya,"
"Orang yang kaya adalah orang yang hatinya selalu merasa cukup," tutur beliau.
"Lalu, apa yang membuatnya bunuh diri?" tanyanya serius. "Orang yang kaya biasanya takut dengan hartanya
Kami semua termenung. Dunia ini memang tempat segala kepalsuan tercipta. Terlihat di layar kalau dia memang cantik dan bahagia. Tapi siapa yang tahu kalau itu semua justru malah membuatnya terpuruk dan jauh dari kata senang?
Dan kita sebenarnya bukan apa-apa kalau tanpa ilmu.
"Orang yang punya sekolah ini, beliau hanya tamatan SMP. Tapi ilmunya melebihi S3. Hingga yang S2 berguru padanya," ujar beliau.
Beliau kembali mengemukakan opininya, "saya juga sebenarnya tidak setuju dengan orang yang billang 'Belajar membuka jendela dunia'."
Kami tersenyum dan menunggu penjelasannya. "Kenapa tad?"
"Iyalah, buat apa buka jendela kalau cuman ngerasain angin? Mantengin orang bawa mobil sambil berdecak sendiri 'ohh,, dia punya mobil?' ngapain??" sanggah beliau.
Seisi kelas tertawa.
"Kalian buka jendela, lihat dunia, ambil apa yang kalian butuhkan. Itu baru yang namanya belajar," urai beliau.
"Lalu ustad, tujuan kita kuliah apa dong?" celetuk seseorang.
"Kalian belajar untuk mengangkat kebodohan diri sendiri dan orang lain," jawabnya. "Kalian bodoh dalam mentasrif? Belajar sama saya!" katanya sambil menunjuk dirinya dengan nada bercanda. Membuat kami tersenyum lagi.
"Kalian belajar tuh buat ilmu! Bukan buat cari kerja! Dari ilmu itu, baru kalian bisa melalang buana keliling dunia. Syukur-syukur kalau ilmu itu bisa dibagikan secara gratis," papar beliau menutup obrolan kita hari itu.
"Kalian belajar untuk mengangkat kebodohan diri sendiri dan orang lain"
Jam pelajarannya belum selesai. Tapi setidaknya atmosfer kelas telah berubah. Bukan senang, tapi masih penasaran apa dan bagaimana masa depan kita nanti.
Penjelasan sang guru yang begitu jelas, singkat namun padat dan agak sedikit konyol mampu membuat kita terbius. Setidaknya untuk saat ini, mau dibawa kemana ilmu kita?
Wah dapat renungan d blog ini
BalasHapusMoga bermanfaat bro
Hapus