Langsung ke konten utama

Unggulan

Tujuan Setelah Lulus Sekolah

Jam pelajaran pertama hari itu sudah dimulai. Sang guru yang biasa kami sapa dengan sebutan ustad sudah tiba di kelas dan langsung menyampaikan materi. Pelajaran hari itu adalah Shorof, cabang dari ilmu bahasa Arab yang cukup penting. Pembelajaran berlangsung tenang dan datar. Namun, tampaknya ada hawa-hawa yang tidak beres. Atmosfer kelas pagi itu sepertinya tidak sehangat indahnya pagi di luar sana. Sebagian warga kelas mulai suntuk. Apalagi hari ini adalah hari menjelang weekend . Entah apa yang kami lakukan selama seminggu ini hingga membuat hari ini inginnya libur saja. Beberapa ada yang masih memperhatikan sang guru. Sebagian yang lain sibuk dengan pikirannya masing-masing. Namun, tidak sedikit juga yang mulai tumbang. Menyadari bahwa pelajaran tidak bisa dilanjut, sang guru akhirnya tersenyum dan bertanya tentang hal yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya. "Kalian belajar untuk bekerja atau cari uang?" Tanya beliau antusias. Membuat kabut-kabut tak kasat mata yang...

Perjalanan Ini...

Bis

Sengaja, liburan kali ini aku tidak ingin di rumah nenek. Bukan karena tidak menarik, tapi aku hanya ingin menghindari rute Tasikmalaya-Kuningan. Selain karena terlalu dekat, rutenya penuh dengan jalan berkelok yang memabukkan. Maka, aku memutuskan untuk pulang ke tempat asalku dan dengan senang hati menerima perjalanan panjang yang kira-kira menghabiskan kurang lebih 6 jam untuk sampai. Dengan catatan tebal: kalau jalanan lancar jaya.

Hari yang dinanti-nanti seluruh santri tiba. Apa lagi kalau bukan perpulangan? Ditambah lagi semuanya diantar bersama-sama menggunakan bis. Ditambah lagi bis dengan jurusan Tasikmalaya-Bogor yang akan aku tumpangi berangkat paling pagi. Tidak terlalu pagi karena bis kami berangkat setelah bis Tasikmalaya-Tangerang yang berangkat pukul setengah enam. Tidak terlalu pagi karena banyak tetek-bengek yang harus diurus namun kalau diurus semua bisa-bisa malah enggak jadi pulang.

"Tahu enggak? Bis kita pulangnya lewat jalur Puncak," ujar salah satu temanku yang memberitahu wejangan ini jauh sebelum hari H.

"Kata siapa?" Aku bertanya balik.

"Katanya sih gitu. Jadi kita pulangnya enggak akan lewat tol," jawabnya tidak memberi jawaban.

"Ah, masa? Puncak 'kan macet banget." Aku menimpali seadanya karena tidak yakin dengan kebenaran berita tersebut.

"Enggak tahu, tuh. Aneh memang." Dia menambahkan.

Dan perjalanan itu pun dimulai.

Setelah bekal masing-masing dibagikan dan doa sudah dibacakan, bis kami mulai meninggalkan Tasikmalaya.

Sebelum benar-benar pergi, salah satu penumpang yang juga sama-sama santri berseru datar.

"Pak, dompet saya ketinggalan," ucapnya di waktu yang tepat karena kebetulan bis sedang mangkir sebentar entah karena apa.

"Kok bisa?" Salah satu guru pembimbing di bis ini yang dia ajak bicara menghampiri.

"Tadi sih saya taruh di atas kasur, Pak," jawabnya.

"Ya sudah. Mau bagaimana lagi? Bisa tidak ditinggal saja? Liburannya 'kan cuman 2 minggu." Pak Guru memberi pertimbangan. Bisa dibilang tidak mungkin kalau kita harus balik lagi hanya karena sebuah dompet.

"Tapi ada KTP-nya, Pak."

"Ya ini sudah agak jauh."

"Saya ambil pakai grab, deh." Dia memberi pilihan lain.

"Lama tidak?"

"..."

Bis pun berjalan lagi. Meninggalkan Tasikmalaya dan dompet yang malang itu.

Aku dan temanku mulai bercengkrama, makan-makan, tenggelam dalam kegiatan masing-masing, tidur.
Bis memasuki Garut. Dan kami berhenti sebentar.

Perjalanan dilanjut lagi. Tak lama kemudian kami berhenti di rumah makan lagi. Kali ini sedikit lebih lama dan bertemu dengan bis-bis yang lain dengan tujuan yang berbeda.

Setelah itu jalan lagi.

Aku menikmati perjalanan ini.

Benar-benar menikmatinya.

Sangat menikmatinya.

Saking nikmatnya hingga perasaan curiga muncul. Kenapa bis ini belum masuk tol padahal aku menunggunya agar bisa tidur lebih nyaman?

Jangan-jangan kabar temanku itu bukan hoax.

Aku mencoba tidak ambil pusing sampai bis ini berkelana di Cianjur. Ada beberapa santri yang ternyata harus turun di daerah ini.Aku baru tahu kalau ternyata bis Tasikmalaya-Bogor ini tidak ditumpangi orang Bogor dan Depok saja, tapi ada orang Cianjur juga.

Setelah sempat kesasar dan orang-orang Cianjur itu bertemu orangtua mereka dengan selamat, giliran kami yang menunggu kesempatan itu datang. Jalanan masih belum mulus bahkan banyak yang rusak dan semakin berkelok juga menanjak.

Kira-kira pukul 12.15 dan kami masuk kawasan Puncak.

Ungkapan kalau Bogor kota hujan benar-benar aku percaya sekarang karena sesaat setelah masuk daerah Puncak, hujan turun membasahi jalan. Siang yang panas menjadi terasa dingin.

Puncak yang tenang dan landai dengan irama rintik hujan. Aku berharap agar kecepatan bis ini konstan sampai tiba di tujuan. Hingga Perutku mulai lapar.

Hingga tidur bukan pilihan bagus.

Hingga bokong sudah tidak bersahabat lagi.

Hingga cuaca dingin dan AC bis sudah membuat kami menjadi beku.

Hingga orang yang ingin menunaikan hajatnya agak sulit menunaikannya.

Kami benar-benar terjebak macet.

Masing-masing dari kami mulai merasa tidak nyaman. Bis yang terseret-seret ketika jalan ini tidak bisa kami harapkan.

Pukul 14.00 waktu Bogor dan jalanan di jalur puncak ini tidak juga menunjukan tanda-tanda akan lancar.

Kami hanya bisa mengeluh menahan lapar dan rasa 'tidak tahan' yang lain.

Pak guru yang baik hati berusaha menghibur seisi bis yang sedang patah hati ini. Galau karena tak kunjung sampai dan bingung karena orangtua banyak yang sudah menunggu di pemberhentian akhir.

Sebagai ganti dari keresahan ini, beliau mulai membagikan beberapa jokes.

"Apa bedanya jalan tol dan kamu?"

Seisi bis bersorak.

Silahkan bisa dijawab sendiri.

Kemudian bis kembali hening karena pak guru lebih memilih untuk menemani pak sopir.

Hari beranjak sore. Hujan tak kunjung reda dan jalan tak kunjung lancar.

Kami pun akhirnya berhenti sebentar di sebuah pusat oleh-oleh untuk sholat. Jam menunjukan pukul empat sore waktu Bogor. Hujan deras.

Setelah sholat dan melemaskan bokong, kami mulai melanjutkan perjalanan lagi. Seisi bis juga sudah sedikit mencair. Karena mau bagaimanapun perjalanan ini masih sangat panjang.

Akhirnya penantian panjang itu berujung manis karena jalan yang lancar dan landai siap menanti kami.

"Ya, anggap saja pertemuan kita di bis ini merupakan ajang silahturahmi. Dan segala sesuatu yang telah dilewati itu merupakan takdir yang sudah ditulis sebelum diciptakannya bumi dan langit. Dan yang sudah bosan dari tadi harap bersabar sedikit lagi karena kita akan segera tiba sebentar lagi," ujar beliau. Kami hanya bisa mangut-mangut.

Dan karena pak guru sudah membicarakan takdir, kami akhirnya bisa memaklumi semua ini dengan tenang. Karena memang, segala sesuatu di dunia ini sudah digariskan dan tidak akan melenceng seinchi pun. Bahkan segala yang kering, yang basah, yang jatuh atau yang akan tetap diam semuanya sudah dituliskan di lauh mahfudz.

Ngomongin takdir, aku jadi ingat kejadian baru-baru ini. Waktu itu akan ada acara pentas seni besar-besaran yang akan diadakan oleh angkatan kami. Kami meminta perwakilan dari setiap angkatan lain untuk menampilkan setidaknya satu penampilan. Mereka semua sangat antusias dan semangat menyiapkannya.

Salah satu angkatan akan menampilkan puisi berantai yang sudah mereka siapakan lebih dari 2 minggu. Tapi, karena ada satu dan lain hal, penampilan mereka yang sudah 90% siap tampil itu dibatalkan. Ya. Dibatalkan.

Sakit hati sudah tentu. Di awal mereka marah habis-habisan. Tapi untungnya, mereka bisa berlepas diri dari itu semua dengan mudah karena mereka percaya bahwa mereka tidak ditakdirkan untuk tampil. Pahit. Tapi memang itu kenyataannya. Terkadang hidup akan menghidangkan asam-pahit duka yang harus bisa dirasakan dengan manisnya suka.

Kembali ke dalam bis yang sudah memasuki Tol Cibinong. Akhirnya penantian panjang dan melelahkan ini terjawab juga.

Satu per satu santri yang merupakan penumpang di dalam bis itu diturunkan satu per satu. Dan dengan berlalunya semua itu, secara tidak langsung aku sudah berlibur di Puncak bersama anak-anak satu sekolah.

Komentar

Postingan Populer