Langsung ke konten utama

Unggulan

Tujuan Setelah Lulus Sekolah

Jam pelajaran pertama hari itu sudah dimulai. Sang guru yang biasa kami sapa dengan sebutan ustad sudah tiba di kelas dan langsung menyampaikan materi. Pelajaran hari itu adalah Shorof, cabang dari ilmu bahasa Arab yang cukup penting. Pembelajaran berlangsung tenang dan datar. Namun, tampaknya ada hawa-hawa yang tidak beres. Atmosfer kelas pagi itu sepertinya tidak sehangat indahnya pagi di luar sana. Sebagian warga kelas mulai suntuk. Apalagi hari ini adalah hari menjelang weekend . Entah apa yang kami lakukan selama seminggu ini hingga membuat hari ini inginnya libur saja. Beberapa ada yang masih memperhatikan sang guru. Sebagian yang lain sibuk dengan pikirannya masing-masing. Namun, tidak sedikit juga yang mulai tumbang. Menyadari bahwa pelajaran tidak bisa dilanjut, sang guru akhirnya tersenyum dan bertanya tentang hal yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya. "Kalian belajar untuk bekerja atau cari uang?" Tanya beliau antusias. Membuat kabut-kabut tak kasat mata yang...

Knowing Yourself

is it you?


 Siang hari menjelang petang yang terik. Ini masih bulan Ramadhan. Kamar sepi, orang-orang lebih memilih tidur siang dari pada melakukan aktivitas lain. Berbeda dengan tiga orang yang duduk asal ini, mereka lebih memilih mengambil posisi paling pw untuk ngobrol. Entah siapa yang mengarahkan topik ini dibahas siang-siang, aku baru sadar kalau ternyata mengenal diri sendiri itu sangat penting, sepenting tidur siang yang (tidak) sengaja kami lewatkan.

"Aku kadang suka ngerasa sedih lihat pengurus sekarang. Sering banget dihujat," ungkap salah satu temanku yang berkacamata. "Aku juga punya rasa pengen ngehujat tapi langsung keinget kalau dulu aku pernah ada di posisi yang sama kayak mereka sekarang."

Sedikit informasi. Pengurus di sini adalah organisasi santri yang bertujuan membantu menjalankan visi misi pondok dengan program kerja yang dirancang oleh pengurus dan disetujui oleh atasan. Biasanya pengurus ini diamanahi kepada santri kelas 11. Santri kelas 12 tetap patuh kepada peraturan pondok meski tidak sepenuhnya mengikuti proker yang disusun pengurus.

Pembahasan ini muncul karena sebagian teman-temanku berpendapat bahwa program kerja yang sudah baik seharusnya bisa diteruskan oleh mereka ketika mereka menjabat.

"Kalau dipikir-pikir juga buat apa ngehujat mereka? Mereka juga enggak ngerugiin kita," timpal temanku yang lain.

"Meskipun salah harusnya enggak perlu dihujat. Kita harusnya bisa langsung kasih kritik." aku ikut berkomentar.

"Orang lain emang enggak tahu capeknya jadi pengurus." Temanku yang berkacamata kembali mengeluarkan suara. "Mereka tuh cuman butuh support, butuh dihargai."

"Jadi pengurus mentalnya emang harus sekuat baja, mukanya harus pakai banyak topeng," komentarku.

"Orang lain mah enggak akan berhenti menghujat kita," sahut temanku yang lain. "Kita juga enggak seharusnya dengerin, sih."

Kami setuju.

"Kadang orang juga bilang, 'aku tahu kamu. Harusnya kamu begini, bukan begitu.' Lha? Siapa dia?" Yang berkacamata bersuara lagi.

Aku dan temanku mangut-mangut.

"Harusnya dia bisa peduli sama pilihan kita. Ya, enggak? Aku mikirnya begini, 'Yaudah, ini pilihan gue. Lo ngomong gitu itu pilihan lo. Terus, enggak diambil pusing lagi," papar temanku yang memeluk guling.

"Nah, iya. Pilihan," simpul yang berkacamata. "Aku juga mikir begitu, 'ini pilihan aku. Kalau kamu enggak suka ya itu pilihan kamu," sambungnya.

"Itu yang biasanya jadi masalah. Kadang orang tanya aku. Aku lebih suka yang mana diantara dua pilihan yang bikin dia bingung. Aku ikutan bingung juga. Antara milih yang sesuai sama selera aku atau ikutin kepribadian dia," tuturku. "Jadi biasanya habis milih, aku kembalikan ke dia. Atau kalau malas mikir, langsung kujawab, 'terserah.'"

Mereka berdua setuju.

"Dulu, aku enggak sepercaya diri sekarang. Sering banget nutup-nutupin. Tapi lama kelamaan capek sendiri. Ribet. Akhirnya enggak aku tutup lagi. Ternyata biasa aja," cerita gadis yang berkacamata.

"Berarti, itu pilihan kamu," sahut temanku yang masih memeluk gulingnya. Gadis yang berkacamata setuju. "Kamu benar."

Dia kembali melanjutkan. "Kadang kasian juga ngeliat orang yang ngerasa kayak aku waktu dulu. Pengen negur, tapi enggak apa-apa deh. Itu pilihan dia."

Pilihan itu menentukan jalan hidup. Milih bahagia meski sengsara atau milih sedih padahal dia makmur. Milih terus berpura-pura atau langsung menampakan sisi asli. Itu semua tergantung pilihan orang masing-masing.

"Aku pernah lihat salah satu konten di Tik Tok. Dia ngasih tahu kalau orang yang kena penyakit mental ciri-cirinya begini dan begitu. Terus langsung banyak yang komen, 'ini aku banget.',' 'aku begini tahu.'. Enggak suka ngeliat orang-orang pada self-diagnose. Padahal belum tentu juga kalau ciri-cirinya begitu dia kena penyakit mental," ulas temanku.

Aku dan yang lain mangut-mangut.

"Terus ada juga yang komentar, misal si A komen, 'aku kayak gini.' Eh si B balas, 'self-diagnose.'. Si B tahu apa kalau si A lagi self-diagnose atau enggak."

"Kamu juga tahu apa kalau si B cuman sotoy atau sekedar ngasih tahu?" Timpalku. Temanku yang lain tertawa.

Self-diagnose adalah keadaan ketika seseorang mendiagnosis dirinya sendiri. Sangat bagus kalau memang dilakukan dengan ilmu. Tapi malah jadi bahaya kalau dilakukan dengan ke-sok-tahuan yang tinggi. Karena biasanya seseorang melakukan itu karena merasa dirinya paling tertekan, merasa paling menderita. Sehingga dia mendiagnosis dirinya sendiri menderita kelainan mental. Padahal bisa saja, penyakit mental lebih 'sakit' dari yang dia ekspektasikan.

"Sebenarnya, aku tidak suka candaan yang mengarah ke arahku."

Bercanda. Kata kerja itu yang membuat dunia ini tidak monoton dan kaku. Candaan yang dikatakan berhasil atau bisa disebut candaan yang sehat tidak hanya harus lucu, tapi juga sesuai kenyataan dan tidak menyakiti orang lain.

Maafkan aku, sob!

Siang itu cukup panas namun terasa sejuk. Dan pembicaraan ini masih berlanjut.

"Tapi aku seneng." Gadis yang berkacamata memecah keheningan. "Seneng bisa kenal sama diri sendiri."

Kami berdua setuju.

"Meski susah, itu yang bikin kita nyaman sama diri sendiri," timpal gadis yang setia dengan gulingnya.

"Iya. Dan karena itu juga kita jadi bisa lebih mudah mengenal orang lain." Gadis yang berkacamata menambahkan.

Be yourself. Slogan yang kebanyakan orang pakai akhir-akhir ini. Kata-kata motivasi yang cukup meyakinkan seseorang bahwa dia bisa baik-baik saja tanpa perlu berpura-pura di dunia yang penuh tipu daya. Yang bisa memberi semangat bahwa dia harus tetap kuat meski mentalnya sedang tidak sehat di tengah orang-orang yang sekarat.

Menjadi Diri Sendiri.

Sayangnya, aku tidak bisa mengikuti mereka hingga akhir. Ada urusan sepenting mengenal diri sendiri di lab komputer.

Di lain siang, hari di mana kami mengobservasi kegiatan belajar mengajar di sebuah PAUD ternama. Saat seluruh observer dikumpulkan untuk berdiskusi tentang hasil pengamatan mereka di sekolah yang setiap kelasnya setidaknya ada satu anak 'istimewa' di tengah anak-anak tipikal.

Sang kepala sekolah sekaligus pengelola PAUD itu berkata, "Alasan kita menyatukan mereka? Karena kami yakin mereka (anak istimewa) bisa beradaptasi dan merasa diterima. Anak tipikal juga bisa belajar dan paham kalau ternyata ada anak yang berbeda dari dirinya. Kami juga awalnya merasa tidak yakin. Tapi setelah memantaskan diri, berusaha menjadi positif, kita bisa membuat mereka positif atau paling tidak memancarkan energi positif."

"Orang yang positif bisa melihat hal positif dalam diriya, bisa melihat hal positif dalam diri orang lain nantinya. Maka kenalilah hal postif kalian."

Karena ternyata mengenal diri sendiri bukan sekedar tahu apa yang kita mau atau apa yang kita butuh. Tapi juga apa yang orang lain dapat dari kita.

Menjadi diri sendiri itu penting. Menentukan pilihan itu penting. Menghargai orang lain itu penting. Yang lebih penting lagi, bisa mengenal Sang Pencipta agar bisa menjadi pribadi yang lebih berarti dan bahagia di tempat abadi.

.

.

.

Terimakasih kepada kedua temanku atas waktu istirahatnya!

Komentar

Postingan Populer