Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Be The Happy You
Bulan Juni lalu adalah masa-masa akhir sekolah yang 'sedikit' membosankan. Bagaimana tidak? Di saat sekolah lain sudah mengadakan acara kelulusan, sekolahku justru mengadakan pelatihan bagi calon guru yang akan mengajar di sini. Dan peserta pelatihannya tentu saja kami --kelas 12-- yang belum diluluskan secara resmi oleh sekolah karena masih punya tanggungan untuk berkhidmah selama 1 tahun. Pelatihannya kurang lebih 3 minggu. Selain tata cara mengajar yang baik dan benar, para peserta pelatihan juga melakukan pelatihan kerja lapangan, belajar kitab aqidah, dan seminar menarik.
Setelah acara kelulusan yang diisi dengan pembacaan surat keputusan kelulusan dan pembagian apresiasi dilangsungkan secara khidmat, aku pulang ke rumah untuk berlibur sebelum nantinya harus menjadi pegawai magang di sekolahku sendiri. Ada banyak yang harus disiapkan. Mulai dari kesehatan fisik, kesiapan mental, dan kedewasaan yang memang sudah harus ada. Aku memang bukan bekerja di tempat asing karena ini adalah sekolahku sendiri. Tapi, nantinya akan sulit untuk berkumpul lagi bersama teman-temanku yang lain. Kami harus lebih profesional. Apalagi, ini adalah pengalaman kerja pertamaku.
Orang-orang kemudian menanyakan apa rencanaku selanjutnya. Mengingat aku sudah bukan dikatakan siswa SMA lagi. Apakah langsung bekerja atau kuliah. Aku hanya bisa menjelaskan dengan gamblang. Kalau aku sebenarnya 'belum lulus'. Orangtuaku sedikit menyangkan program wajib ini, karena satu tahun yang menurut mereka seperti 'terbuang'. Tapi aku tidak mempermasalahkan hal itu. Toh, aku akhirnya punya pengalaman kerja, dan bisa mempersiapkan diri lebih matang untuk daftar kuliah nantinya.
Alur hidup manusia kayaknya cuman lahir, lalu belajar merangkak, belajar berjalan, masuk taman kanak-kanak, masuk sekolah dasar, belajar di sekolah menengah, di terima di universitas bergengsi, bekerja di perusahaan elit dengan gaji melintir, menikah, punya anak, menikmati masa tua, lalu meninggal. Enggak ada yang 'spesial' karena standar hidup bahagia orang-orang semuanya sama, harus sama.
Yang lebih menyakitkan lagi adalah sebuah ketidakberuntungan sebagian kecil orang yang justru dianggap sial. Seperti pekerjaan yang kurang masuk akal, menikah di usia yang tidak lagi muda, tidak kunjung diberi momongan, atau justru sudah punya pekerjaan tapi malah dibilang pengangguran karena kerjanya yang terlalu santai. Padahal setiap orang punya timeline masing-masing. Setiap individu punya jalan hidup masing-masing. Dan setiap kelompok tidak bisa menjudge suatu individu yang kelihatannya tidak sesuai dengan pandangan mereka dan harus setara. Enggak kebayang kalau semua orang punya timeline yang sama. Umur 23 tahun menikah, umur 25 punya anak, lalu meninggal di usia 70 tahun. Padahal takdir adalah hal yang pasti namun tersembunyi. Semua orang pasti akan menyia-nyiakan masa muda mereka dan bertaubat di usia 60 tahun. Kerusakan pasti sudah terjadi saat itu.
Kebahagiaan itu sesederhana melakukan hal yang kita suka tanpa hambatan internal seperti sakit atau tanpa hambatan eksternal seperti tidak punya uang. Kalau kita melakukan sesuatu yang kita suka pasti kita menjadi merasa senang. Masalahnya untuk melakukan yang kita suka kita harus punya modal berupa uang. Jadi bahagia itu adalah ketika kita punya uang.
Menarik. Itu juga tidak selamanya salah. Bahkan untuk buang air kecil saja kita harus mengeluarkan uang setidaknya dua ribu rupiah. Untuk membeli makan harus mengeluarkan sepuluh ribu rupiah. Untuk membeli minum harus mengeluarkan lima ribu rupiah. Begitulah gambaran umum ketika kita sedang dalam perjalanan dan bis yang ditupangi sedang singgah di sebuah rumah makan; buang air, beli pop mie dan teh javana. Terus makan sebentar biar pas di bis bisa tidur lagi.
Bukankah hidup juga sama, hanya sebuah persinggahan?
Pernah suatu hari, saudaraku yang lebih muda mengeluhkan kenyataan yang dia hadapi selama berada di perantauan. Selain jadwal padat yang membuat dia tidak bisa rebahan sesuka hati, kekurangan uang menjadi kekhawatirannya. Pengeluaran pentingnya tidak berbanding lurus dengan bekal yang biasanya dia dapatkan. Aku hanya bisa membesarkan hatinya. Sebesar apapun yang kita punya harus selalu disyukuri. Tapi dibalik kerisauanannya tentang hal itu, dia tetap merasa nyaman di tempatnya tersebut. Mungkin dia merasa kalau kebahagiaannya memang sudah menjadi prioritas yang pertama dan urusan kekurangan itu sudah menjadi urutan kesekian.
Aku pernah merasa sangat lelah. Lelah dengan lingkungan yang semakin hari semakin panas, lelah dengan orang-orang sekitar yang selalu membuat hati memanas, dan lelah dengan pikiran sendiri yang tidak boleh panas. Aku juga menemukan postingan-postingan di sosial media yang mengharuskan kita untuk lebih membahagiakan diri sendiri dari pada orang lain. Tapi aku tidak relate dengan pernyataan tersebut sampai aku sendiri merasa tidak nyaman ketika terus-terusan mengutamakan orang lain dibanding diriku sendiri. Setelah merasa lelah, aku berpikir, "sakit demi orang lain senang, sampai kapan?" Dan beruntung ada salah satu temanku berkomentar, "Sampai kamu merasa, bahwa bahagia mereka adalah bahagiamu juga."
Ya, karena membahagiakan orang itu harus.
Aku juga pernah menemukan pernyataan yang diungkapkan oleh bang Andy, bahwa untuk bahagia kita harus mencari signifikasi dari keberadaan kita di dunia. Pernyataan itu jelas menujukan kalau kita harus menjadi 'manusia' yang sebenarnya. 'Manusia' yang bisa memanusiakan manusia.
Karena masa pengabdian satu tahun mengharuskan aku untuk merantau namun aku belum berangkat saat itu, salah satu temanku yang sudah tiba di perantauan tiba-tiba bilang "Aku nitip, ya. Nitip kebahagian di rumah."
Baik, ini berlebihan.
Bahagia sebenarnya sesederhana itu, pikiran kita saja yang terlalu mempersulit sehingga malah membuatnya runyam.
Ya, dan bahagia itu tidak datang sendiri. Dia ada saat dicari. Jadi, selamat mencari.
Postingan Populer

Tujuan Setelah Lulus Sekolah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar